0 komentar

China-AS Ciptakan Teleskop Terbesar di Dunia

Para astronom China dan Amerika Serikat mungkin akan bekerja sama dalam pembangunan teleskop terbesar di dunia yang ditujukan untuk memberikan penglihatan lebih dalam ke tahap sangat awal dari alam semesta, lapor kantor berita Xinhua, Jumat.

Teleskop tigapuluh meter (TMT - Thirty-Meter-Telescope) yang disusun dan dipimpin oleh Universitas California dan Institut Teknologi California (Caltech) itu diperkirakan rampung pada 2019, jelas kantor berita resmi China itu.

"Itu adalah usaha yang besar dan akan menentukan masa depan astronomi dan astrofisika selama sekitar 60 atau 70 tahun, jadi itu akan secara otomatis melibatkan masyarakat internasional yang besar," kata pemimpin Caltech Jean-Lou Chameau dalam wawancara dengan Xinhua.

Xinhua membeberkan universitas tersebut dan Caltech telah berbicara dengan sejumlah astronom dan ilmuwan China mengenai kerja sama pendanaan dan teknologi, meskipun belum ada keputusan akhir yang dibuat.

Kanada dan Jepang telah mencatatkan diri untuk ikut dalam proyek yang memerlukan toal pembiayaan 1 miliar dolar AS itu, kata Xinhua.

Teleskop dengan kaca berdiameter 30 meter itu akan memiliki kemungkinan pemandangan paling cepat tentang alam semesta dan akan memgambil citra Bimasakti dan bintang-bintang yang terbentuk 13 miliar tahun cahaya jauhnya. Teleskop itu akan ditempatkan di puncak Mauna Kea, Hawaii.

sumber : antaranews.com
0 komentar

Gelombang Ultrasonik Mampu Bunuh Nyamuk Demam Berdarah

Gelombang ultrasonik ternyata bisa membunuh serangga, salah satunya adalah nyamuk demam berdarah atau aedes aegypti.

Pancaran gelombang ini dengan kekuatan 30 KHz hingga 100 KHz secara terus-menerus dalam ruangan akan mengakibatkan terganggunya fungsi antena pada nyamuk yang berfungsi sebagai indra penerima rangsang.

"Nyamuk akan merasa tidak nyaman dan terganggu keseimbangannya hingga akhirnya mati," kata I Wayan Teguh Wibawan, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB), dalam kesempatan peluncuran AC LG Terminator di Jakarta, Rabu (19/8).

LG, perusahaan elektronik, melakukan riset bersama ITB untuk menggabungkan teknologi gelombang ultrasonik ini ke dalam AC. Hasilnya adalah AC LG Terminator. "Kami telah melakukan riset sejak 2007," katanya.

Lebih lanjut, Wayan menuturkan bahwa percobaan dilakukan dengan melepaskan nyamuk-nyamuk aedes aegypti berjenis kelamin betina (strain liverpool) berumur 4-5 hari. Pada saat yang sama, dalam ruangan tersebut AC Terminator memancarkan gelombang ultrasonik.

Pengujian dilakukan dalam ruang pengujian standar penelitian insektisida dari Lembaga Kesehatan Dunia (WHO). "Hasilnya, gelombang ultrasonik mampu membunuh lebih dari 70 persen nyamuk yang ada di dalam ruangan dalam tempo 24 jam," ujar Wayan.

Produk yang baru dilepas di Indonesia ini dibandrol Rp 4,5 juta per unit. "Harga ini tidak mahal kalau dilihat benefit yang diterima. Misalnya melindungi keluarga kita dari nyamuk demam berdarah," kata Budi Setiawan, Direktur Penjualan LG Elektronik Indonesia.

Ia pun menganjurkan, supaya hemat energi, sebaiknya AC cukup distel pada suhu kamar 25-27 derajat celcius. "Kalau pergi, dimatikan saja AC-nya. Namun, fungsi gelombang ultrasoniknya bisa diaktifkan karena berdiri terpisah," tandas Budi.

sumber kompas.com
0 komentar

Foto Google Earth Ungkap Keberadaan Monster Loch Ness

Selama berabad-abad, banyak orang yang mengatakan pernah melihat monster Loch Ness. Namun, tidak pernah ada bukti nyata tentang keberadaan monster di Danau Ness tersebut. Nessie yang diperkirakan adalah seekor plesiosaurus tetap menjadi sebuah misteri.

Namun, akhirnya seorang pembaca harian Sun, Jason Cooke, secara tak sengaja memberikan buktinya. Bukti tersebut adalah foto dari Google Earth. Jason Cooke yang bertugas sebagai petugas keamanan di Nottingham itu sedang melihat-lihat foto situs Google Earth ketika ia mencatat keberadaan Nessie, begitu julukan monster danau tersebut. “Saya tidak bisa memercayainya. Ini seperti deskripsi Nessie,” katanya.

“Ini benar-benar membangkitkan minat. Ini perlu penelitian lebih lanjut,” tutur Adrian Shine, peneliti di Loch Ness Project, seperti dikutip Sun.

Ingin melihatnya sendiri? Silakan masukkan koordinat Latitude 57°12'52.13"N, Longitude 4°34'14.16"W di Google Earth. Atau klik alamat di Google Map di http://maps.google.com/maps?ll=57.214408,-4.5706609&z=18&t=h&hl=en

sumber : kompas.com
0 komentar

Satelit Korsel Hilang Setelah Luncur

Sebuah satelit yang diluncurkan roket luar angkasa pertama Korea Selatan (Korsel) terbakar di atmosfer bumi setelah gagal mengorbit.

Menurut Kementerian Ilmu dan Teknologi Korsel, kegagalan disebabkan satu dari dua penutup penembak aerodinamika roket gagal mencapai ketinggian setelah pembukaan dalam persiapan untuk pelepasan satelit.

Hal itu mengakibatkan, berat penembak roket kedua tak cukup untuk mencapai tempat di mana satelit semestinya mengorbit.Kecepatannya turun ke angka 6,2 kilo meter per detik dari kecepatan optimal sebesar 8 kilometer per detik.

Wakil Menteri Ilmu dan Teknologi Kim Jung-hyun mengatakan, berat ekstra juga menyebabkan roket bergerak ke atas membuat satelit yang diluncurkan mencapai ketinggian 387 kilometer, terlalu tinggi dari yang direncanakan sebesar 302 kilometer. Menteri Ilmu dan Teknologi dan pejabat ruang angkasa Korsel memercayai, satelit dengan berat 100 kilogram tersebut kemungkinan meledak di atmosfer bumi.

Korsel telah menanamkan investasinya lebih dari USD400 juta dan mempertaruhkan harga diri nasionalnya dalam satelit dan roket yang memiliki tinggi 33 meter tersebut. Landasan pertama dibuat bekerja sama dengan pusat ruang angkasa Rusia Khrunichev. Landasan kedua, termasuk pendeteksi tembak, dibuat oleh para insinyur lokal yang juga membangun satelit penelitian seberat 100 kilogram.

"Korsel melakukan pekerjaan secara terpisah dalam pengerjaan penembak sementara Rusia bertugas dalam penanganan masalah teknis secara menyeluruh. Namun demikian, kedua negara samasama bertanggung jawab," terang Kim Jung-Hyun dalam pernyataannya. Dikatakan Kim, pihaknya akan menggelar diskusi terkait masalah ini dengan Rusia. "Diskusi terkait masalah ini akan kami gelar dengan Rusia," tegasnya.

Peluncuran roket sebenarnya telah tertunda sebanyak tujuh kali sejak 2005, yang paling terbaru terjadi pekan lalu saat hitung mundur peluncuran terhenti delapan menit sebelum roket diluncurkan. "Kami bisa mengatakan, ini adalah setengah kesuksesan, meski satelit gagal memasuki orbit," kata Presiden Korsel Lee Myung- Bak pada rapat kabinet Selasa malam.

"Kita semestinya menyadari impian kita menjadi negara terdepan dalam teknologi ruang angkasa, meski itu menjadi peluncuran yang ke delapan setelah gagal selama tujuh kali atau peluncuran kesembilan setelah kegagalan ke delapan."

sumber : okezone
0 komentar

Kirim Email dari Alam Kubur

Di Inggris, ada sebuah layanan yang memungkinkan seseorang mengirimkan pesan email kepada orang yang mereka kasihi. Yang membuatnya unik, pesan ini dikirimkan kepada orang yang dituju saat si pengirimnya sudah meninggal. Bagaimana mungkin?

Layanan bernama The Last Messages Club ini awalnya bertujuan untuk menghibur mereka yang ditinggalkan kematian seseorang.

Simon Gilligan, salah seorang yang tertarik dengan layanan ini telah mendaftar dan mempersiapkan beberapa pesan yang akan dikirimkan kepada istri, anak dan temannya jika dia sudah meninggal nanti.

"Orang lain mungkin mengira layanan ini aneh. Namun bagi saya sangat menyenangkan bisa tetap menyapa orang-orang yang dikasihi saat saya sudah meninggal," kata Gilligan seperti dikutip dari Telegraph, Rabu (5/8/2009).

Namun pada perkembangannya, dokumen penting yang sengaja ditinggalkan si pengirim yang telah meninggal seperti surat wasiat dan detail asuransi juga bisa diakses melalui layanan ini.

Anggota yang telah tergabung dalam layanan ini dapat mengirimkan hingga 100 email yang nantinya akan dikirimkan kepada orang-orang yang dituju setelah si pengirim meninggal dunia.

Momen pengirimannya pun dapat disesuaikan, yaitu pada saat hari pernikahan, kelahiran bayi dan lain-lain. Dengan layanan tersebut, si pengirim pesan yang telah meninggal, seolah-olah hadir memberikan ucapan kepada mereka yang tengah berbahagia menikmati momen tersebut.

Layaknya pesan email biasa, pengirimnya juga bisa menambahkan attachment berupa foto, video dan dokumen untuk dikirimkan kepada keluarga atau teman mereka
0 komentar

Korsel, Negara Internet Tercepat Nomor Satu

Amerika Serikat, boleh saja mengklaim sebagai negara adidaya termasuk untuk urusan teknologi. Tapi tahukah Anda jika negeri paman Sam itu hanya menempati urutan ke-28 untuk urusan kecepatan akses internet.

Laporan Communications Workers of America (CWA), mengungkapkan kecepatan akses internet di AS hanya 5,1 megabits per second (mbps) untuk kecepatan download. Kecepatan tersebut sangat jauh jika dibandingkan dengan Korea Selatan, yang memiliki kecepatan download rata-rata hingga 20,4 mbps.

AFP, Rabu (26/8/2009) melansir, Korea Selatan berada di urutan bpertama disusul Jepang dan Swedia dengan kecepatan masing-masing 15,8 mbps dan 12,8 mbps.

CWA menyatakan, tes kecepatan dilakukan oleh speedmatters.org sepanjang 2008 hingga 2009. selam kurun waktu tersebut kecepatan akses internet di AS berkisar antara 4,2 mbps hingga 5,1 mbps.

"Negara kami jauh berada di belakang negara lainnya untuk urusan keepatan internet, Masyarakat di jepang mampu mengunggah video kualitas tinggi dalam waktu 12 menit sedangkan di AS butuh rata-rata 2,5 jam," tulis laporan CWA.

CWA juga melaporkan, kecepatan akses internet di AS, sangat berbeda-beda. Wilayah AS yang memiliki kecepatan akses tercepat diantaranya adalah wilayah Alaska, Idaho, Montana dan Wyoming.

Saat ini, untuk penetrasai broadband AS terhitung ke dalam 20 besar negara dengan penetrasi terbesar. Sementara itu Korea Selatan, Singapura, Belanda, Denmark dan Taiwan merupakan negara dengan penetrasi broadband dan akses internet yang cukup cepat. (srn)

sumber : okezone
0 komentar

Satelit LAPAN A-1 Pantau Kebakaran Hutan di Indonesia

- Satelit penginderaan jauh telah terbukti andal dalam memantau gejala kekeringan atau dampak yang ditimbulkan. Untuk mengantisipasi gangguan cuaca pada musim kemarau, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional akan mengaktifkan mikrosatelit Lapan A-1 atau Lapan-TUBsat untuk memantau tutupan lahan dan titik api atau kebakaran lahan.

Ini disampaikan Deputi Bidang Teknologi Dirgantara Lapan Soewarto Hardhienata di sela-sela acara "Diseminasi Perkembangan Teknologi Roket dan Satelit di Indonesia: di Kantor Pusat Lapan, Jakarta, Rabu (29/7).

Satelit Lapan A-1 yang dirancang bangun peneliti Lapan dan TU Berlin beredar pada orbit pola melewati wilayah Indonesia tiga kali sehari, yaitu pagi, sore, dan malam. Hasil citra terbaik adalah pagi hari sekitar pukul 9.

"Satelit yang mengorbit sejak 10 Januari 2007 ini akan menghasilkan citra penginderaan jauh yang optimal pada musim kemarau ketika tidak banyak tutupan awan," ujar Soewarto.

"Selama beredar di Indonesia kamera satelit ini dapat diarahkan ke daerah yang rawan kebakaran hutan dan lahan. Daerah sentra industri padi, sumber air baku, seperti danau dan situ, juga akan menjadi obyek observasi," ujar Soewarto.

Sejak dua setengah tahun lalu Satelit Lapan A-1 dengan resolusi 5 meter telah digunakan mengambil gambar aktivitas Gunung Merapi dan Kelud serta tumpahan minyak di Selat Malaka.

Lapan A-2

Untuk meningkatkan cakupan observasi wilayah Indonesia secara mandiri, Lapan kini tengah menyelesaikan satelit Lapan A-2. Satelit generasi kedua ini akan beredar di orbit khatulistiwa dan memiliki jangkauan lebih lebar. Satelit baru ini juga telah dilengkapi dengan sistem global positioning system (GPS).

Peluncuran Satelit Lapan A-2 dan Lapan-Orari, lanjut Soewarto, akan ditumpangkan pada roket peluncur milik ISRO-India.

Menurut rencana peluncuran dua satelit tersebut akan dilaksanakan awal tahun 2011. Rencana semula adalah tahun depan. Menurut Soewarto, pihaknya akan menguji komponen voice repeater dan ADRS dengan meluncurkannya pada Roket Uji Muatan di Yogyakarta, Oktober mendatang.

Ditemui di Pusat Penginderaan Jauh Lapan, Pekayon, mantan Kepala Lapan Mahdi Kartasasmita menyatakan, teknologi penginderaan jauh dengan satelit akan terus dikembangkan, terutama dalam hal standardisasi kualitas dan operasional produk citra satelit.

"Saat ini, selain Lapan, telah ada beberapa instansi yang dapat memantau hot spot (titik panas)," lanjutnya. (YUN)



Sumber : KOMPAS
0 komentar

Bulan, Galileo, dan Sumbangan Ilmiahnya

Bola kristal yang berisi planet dan bintang-bintang yang menempel di kulit bola telah dipecahkan oleh Galileo. Revolusi yang lahir karena itu sejajar dengan penemuan evolusi oleh seleksi alam Charles Darwin dalam pemahaman diri manusia di tengah alam (The Economist, 15/8/2009).

Pada pekan pertama Ramadhan 1430 Hijriah ini, bayangan tentang Bulan yang menentukan awal dan akhir bulan suci ini selalu muncul gamblang dalam ingatan. Bulan yang mengilhami manusia dalam banyak hal sejak dulu kala mendapatkan perspektif baru setelah ilmuwan Italia, Galileo Galilei (1564-1642), mengarahkan teropong astronomi yang baru ditemukan untuk menyibak rahasia langit.

Seperti pernah disinggung dalam tulisan sebelumnya, tahun 2009 ini oleh Majelis Umum Ke-62 PBB, 20 Desember 2007 telah ditetapkan sebagai Tahun Astronomi Internasional. Penetapan tahun astronomi adalah sebagai penghormatan terhadap penggunaan teleskop pertama untuk astronomi oleh Galileo pada tahun 1609. Sejak itu, dengan teleskop yang makin lama makin kuat dan canggih, para astronom melahirkan temuan baru selama 400 tahun terakhir yang memicu revolusi ilmu pengetahuan yang memengaruhi pandangan manusia tentang alam semesta.

Tahun 1609 itu Galileo menjadi manusia pertama yang dapat mengamati dengan gamblang kawah-kawah di permukaan Bulan. Selain itu, dengan teleskopnya, ia juga dapat melihat empat bulan planet Yupiter yang paling besar, yakni Io, Europa, Ganymede, dan Callisto. Galileo melihat keempat bulan Yupiter yang kini dikenal sebagai bulan-bulan Galilean mengitari planet induknya, dan itu pula yang ia jadikan bukti untuk mendukung sistem heliosentrik—menempatkan Matahari sebagai pusat (tata surya), bukan Bumi—yang dimajukan oleh Copernicus. Temuan Galileo, dan kemudian dukungannya pada Teori Heliosentrik, amat mengguncangkan dunia pada waktu itu.

Setelah 400 tahun

Saat yang bersejarah itu sendiri dimulai ketika tanggal 25 Agustus 1609 Galileo memperlihatkan teleskop yang baru selesai dibuat kepada saudagar Venesia, dan tak lama setelah itu ia arahkan ke langit. Galileo pun melihat pegunungan yang menghasilkan bayangan di permukaan Bulan, dan ia pun menyadari bahwa benda langit itu merupakan sebuah dunia sebagaimana Bumi yang memiliki permukaan yang kompleks.

Selain bulan-bulan Yupiter, Galileo juga melihat fase-fase Venus yang serupa dengan Bulan. Hal itu juga menandakan bahwa planet itu mengelilingi Matahari, bukan Bumi. Baik bulan-bulan Yupiter maupun fase planet Venus menguatkan paham heliosentrik yang saat itu tidak didukung ajaran Gereja. Galileo juga melihat bintik Matahari, memperlihatkan bahwa Matahari bukan satu bola sempurna seperti dituntut kosmologi Yunani. Hal lain yang juga dilihat Galileo, tetapi banyak dilupakan adalah bahwa galaksi Bima Sakti, sabuk putih yang menyilang di langit, adalah tersusun dari banyak sekali bintang.

Pengamatan Galileo tersebut menyiratkan bukan saja Bumi bukanlah pusat segalanya, tetapi juga semua yang terlihat Galileo amat jauh lebih luas dan besar daripada apa yang bisa dibayangkan oleh orang pada saat itu.

Selain lebih besar, obyek langit tersebut —sejak saat itu—juga lebih tua. Para astronom dewasa ini mematok umur alam semesta pada kisaran 13,7 miliar tahun, atau sekitar tiga kali lebih tua dibandingkan Bumi, atau sekitar 100.000 kali rentang kehidupan manusia modern sebagai spesies. Lalu, kalaupun umurnya sudah bisa diperkirakan, tetapi ukuran alam semesta sebenarnya masih belum diketahui. Dengan pengetahuan yang ada sekarang ini, manusia tidak dapat mengetahui jarak yang lebih jauh dari 13,7 miliar tahun cahaya.

Dari cabang fisika, yang selama ini setia mengawal perkembangan astronomi, berkembang pemikiran bahwa alam semesta, betapapun mahaluasnya, boleh jadi hanya satu dari banyak struktur serupa, yang satu dan lainnya diatur hukum-hukum yang tak jauh berbeda. Ringkasnya, sesungguhnya ada banyak alam semesta, atau juga disebut multiverse, bukan universe (The Economist, 15/8/2009).

Sejajar Darwin

Apa yang dilihat Galileo pada tahun 1609 ibaratnya telah membedah batas penglihatan dan—dengan itu—pemahaman manusia atas alam kosmos. Jagat tempat manusia hidup di zaman Galileo bisa dikatakan ukuran yang telah diketahui. Orang Yunani saja sudah punya cukup gambaran mengenai ukuran Bumi dan jarak ke Bulan. Namun, semua itu masih merupakan jarak-jarak yang bisa dikatakan terjangkau imajinasi. Namun, setelah Galileo, lalu terbangun kosmos yang skalanya sulit dibayangkan. Belum lagi kalau argumen seperti multiverse kita perhitungkan.

Masa 400 tahun telah berlalu semenjak penemuan teleskop Galileo, dan para astronom terus berkiprah mempelajari dan menemukan hal baru, mulai dari planet yang mengelilingi bintang-bintang nun jauh di bagian lain galaksi, yang mungkin didiami makhluk asing, hingga materi gelap dan energi yang belum diketahui apa arti dan konsekuensinya. Bisa jadi, kelak juga akan lahir penemuan yang mengubah dunia sebagaimana penemuan Galileo.

Berkah pengetahuan

Berangkat dari penemuan Galileo yang kini dihormati sebagai Tahun Astronomi Internasional, pengetahuan manusia akan kosmos kini telah berkembang beraneka ragam. Sudut-sudut gelap semesta yang semula tidak diketahui setapak demi setapak mulai terkuak.

Kita di Indonesia juga telah memiliki dan mengembangkan tradisi astronomi. Ada komunitas astronom yang—meski tidak banyak relatif terhadap jumlah penduduk, dan bekerja dengan fasilitas yang bisa dikatakan ala kadarnya—terus mendedikasikan diri bagi upaya pengungkapan rahasia semesta, dan dengan itu juga semakin meningkatkan pemahaman manusia dan posisinya di semesta ini.

Sebagian dari mereka juga mendalami pemanfaatan instrumen untuk pengamatan benda-benda langit. Dalam kaitan ini kita berharap pada bulan suci Ramadhan ada berkah pengetahuan yang dapat kita simak dari kemajuan astronomi, bersamaan dengan rangkaian peringatan 400 tahun teleskop Galileo.

Dengan menyerap berkah pengetahuan itu pula kita beranjak menjadi bangsa yang semakin maju, dengan rasionalitas yang makin berkembang. Sebagaimana manusia pascapenemuan teleskop yang menyerahkan otoritas pengamatan alam dari mata telanjang ke instrumen, dalam hal-hal lain pun kita juga tidak perlu ragu untuk memercayakan sejumlah urusan kita pada instrumen ilmiah yang dilandasi oleh pengetahuan yang memadai. Tradisi yang telah diturunkan oleh Galileo hingga kini masih diikuti oleh pewaris intelektualnya yang juga cemerlang.

sumber : kompas
0 komentar

Batu Meteor Ungkap Masa Lalu Planet Mars


Sebuah batu meteor seukuran buah semangka raksasa yang ditemukan di Planet Mars menjadi salah satu petunjuk pengungkap tabir masa lalu planet merah tersebut.

Meteor Mars itu berbobot setidaknya 0,5 ton sehingga dianggap terlalu besar untuk menembus atmosfer Mars yang tipis dan mendarat tanpa hancur. Hal itu memunculkan dugaan atmosfer Mars pada masa lalu jauh lebih tebal dari yang diduga selama ini atau batu tersebut jatuh miliaran tahun lalu saat atmosfer Mars jauh lebih tebal.

”Ada kemungkinan, Mars mempunyai karbon dioksida padat yang dapat menyuplai gas karbon dioksida dalam jumlah besar ke atmosfer selama ’musim panas’ pada siklus iklim belakangan ini atau batu jatuh miliaran tahun lalu,” ujar Matt Golombek, anggota tim peneliti di Jet Propulsion Laboratory NASA di Pasadena, California.

Atmosfer planet dapat memperlambat kecepatan jatuh meteor karena ada gesekan. Kendaraan NASA, Opportunity, menemukan meteor mengandung logam, yang kemudian dinamai Block Island oleh para ilmuwan, pada akhir Juli lalu.

Block Island panjangnya sekitar 60 cm dan tingginya sekitar 30 cm, dengan noda kebiruan. Batu itu sepuluh kali lebih besar dari Heat Shield Rock, batu Mars lain yang ditemukan tahun 2004.

sumber : kompas
0 komentar

LIPI Ciptakan Alat Ukur Hujan Online

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membuat terobosan dalam pengukuran curah hujan. Alat yang dinamakan dengan Stasiun Pengukuran Curah Hujan ini mampu mencatat curah hujan, dan dalam hitungan menit bisa langsung diakses melalui internet sehingga potensi banjir bisa dideteksi sejak dini.

"Kami mulai penelitian sejak 2007. Sensor jadi duluan, baru tahun lalu interface-nya jadi. Kami prihatin karena yang ada sekarang database cuaca warisan Belanda," kata Tigor Nauli, Kepala Pusat Penelitian Informatika LIPI Bandung di Kantor Kecamatan Cilengkrang, Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/8), tempat alat ini berada.

Menurut Elli A Gojali, peneliti bidang komputer LIPI, alat yang bahkan belum dimiliki BMKG ini berbeda dengan alat pengukur curah hujan sebelumnya. Bedanya, dulu menggunakan gelas ukur sehingga tidak bisa disambungkan ke alat elektronik. "Tiap pagi orang mengambil gelas ukur itu dan mengukurnya," ungkapnya.

Alat yang dengan investasi Rp 10 juta ini memiliki dua bejana kecil. Keduanya akan berjungkit-jungkit ketika ada air yang masuk. Gerakan inilah yang menghasilkan pulsa elektrik. Kemudian, pulsa elektrik ini lewat interface dikirim ke server. "Dari situ, orang sudah bisa mengakses data curah hujan per milimeter. Orang bisa melihat data real time per 3 menit," tandasnya.

Data ini sangat berguna karena daerah Cilengkrang merupakan daerah hulu. Selama ini, kalau Cilengkrang hujan deras, daerah hilirnya berpotensi besar banjir. "Yang berpotensi kena banjir kalau di sini hujan adalah Gedebage Bandung Timur. Kalau grafik sudah menunjukkan data di atas 50 milimeter, mereka sudah siap-siap," katanya.

Adapun stasiun pengukur curah hujan ini, lanjut Tigor, terdiri dari sensor curah hujan berstandar World Meteorological Organization (WMO), dua interface pengubah sinyal, jalur komunikasi, dan software pengendali berbasis open source. "Ke depan kami akan mengembangkan sensor yang lain dan jalur komunikasinya menggunakan wireless supaya bisa dipasang di perkebunan. Sekarang masih memakai kabel," papar Tigor.

Dengan tambahan alat tersebut dan penambahan beberapa APCH, kita bisa membuat stasiun cuaca kecil. Dengan demikian, tambah Tigor, bukan hanya curah hujan yang bisa diukur, tetapi juga suhu, kelembaban, dan kecepatan angin. "Sehingga kemungkinan terjadinya banjir, perubahan suhu, kapan periode suatu daerah itu kering atau basah, dan lain-lain sudah bisa kita prediksi. Kalau sudah begini, kita sudah berkembang ke Sistem Informasi Cuaca," harap Tigor.

sumber : kompas
0 komentar

LIPI Luncurkan ISRA, Radar Pantai Buatan Indonesia

Indonesian Sea Radar (ISRA) radar pengawas pertama milik Indonesia hasil ciptaan para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) akhirnya diluncurkan. Ini merupakan radar yang dapat digunakan untuk membantu pengaturan transportasi laut dan udara, pengamatan cuaca, pemetaan wilayah, serta navigasi.

"Selain itu dapat digunakan untuk aplikasi pertahanan keamanan (militer) seperti pemandu rudal dan pengunci sasaran," ucap Kepala LIPI Prof. dr. Umar Anggara Jenie saat peluncuran radar tersebut yang merupakan bagian dari peringatan hari ulang tahun LIPI ke-42 di Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna (B2PTTG) LIPI Subang, Jawa Barat. Ikut hadir dalam acara para pejabat LIPI.

Prof. Umar mengatakan, radar ISRA merupakan bukti bahwa tenaga ahli dalam negeri mampu membuat peralatan dengan teknologi tinggi. "Ini mendukung kemandirian membuat alat-alat strategis. Belum lagi prosedur pembelian radar luar negeri sulit dan harganya mahal," jelasnya.

Kepala Bidang Elektronik dan Telekomunikasi LIPI dr. Mashury Wahab mengatakan, penelitian untuk membuat radar tersebut dilakukan selama 3 tahun oleh satu tim berjumlah 20 orang dengan memakan biaya sekitar Rp 3 milyar. Sebelumnya, para peneliti diberikan bantuan oleh pemerintah Belanda untuk pelatihan dasar di Delft University of Technologi the Netherlands yang kemudian diaplikasikan dan dikembangkan di Indonesia.

Radar dengan panjang 2 meter dan lebar 1 meter, berat sekitar 200 kg, serta jangkauan deteksi hingga 64 km tersebut, paparnya, telah menggunakan teknologi Frequency-Modulated Continuous (FM-CW) yang konsumsi daya listrik lebih rendah dan ukuran radar lebih kecil dibanding radar yang digunakan di Indonesia.

"Radar yang digunakan instansi-instansi pemerintah teknologinya ketinggalan, daya (listrik) dan ukurannya juga besar. Kalau radar ISRA biaya operasional dan perawatannya jauh lebih rendah," ujar dia.

60 persen komponen radar, ungkapnya, masih di impor sehingga menjadi hambatan dalam proses pembuatan karena harus menunggu masuknya komponen.

Uji coba radar sudah dilakukan di Cilegon dengan mendeteksi kapal-kapal yang melintasi selat sunda. Menurutnya, produksi masal untuk radar tersebut diharapkan dapat dilakukan pada 2011 setelah melalui proses penyempurnaan.

"Tahap selanjutnya pada akhir tahun ini, kita akan buat radar mobile yang bisa dibawa kemana-mana. Tahap terakhir tahun 2011 kita akan buat jaringan dengan beberapa radar yang terkoneksi dan bisa dipantau dari pusat tanpa harus ke lapangan," jelas dia.

Untuk harga jual, lanjut dia, diperkirakan lebih murah 50 persen dibanding radar pesaing dari negara Polandia yang dibandrol Rp 9 milyar.

Radar versi militer

Lebih lanjut Mashury menjelaskan, LIPI sudah ditugaskan oleh Kementrian Negara Riset dan Teknologi untuk membuat radar versi militer dengan teknologi yang sama untuk dipasang di kapal milik TNI AL pada tahun 2010. "Saat ini semua radar di kapal TNI AL masih impor. Hanya radar dan senjata saja memakan 55 persen dari total harga kapal," ucapnya.

Selain TNI AL, katanya, berbagai pihak mulai tertarik menggunakan radar tersebut seperti Badan Koordinasi Keamanan Laut, Departemen Perhubungan, pihak swasta untuk pengawas pelabuhan, dan beberapa pihak asing. "Di Asia Tenggara cuma kita yang bisa buat (radar)," ujarnya.

sumber : kompas.com
0 komentar

Setelah Netbook, Laptop Ultraringan Bakal Jadi Tren

Komputer jinjing seri ULV (Ultra Light Voltage) atau laptop ultraringan dengan kemampuan baterainya yang tahan lama diprediksi akan menjadi tren setelah netbook.

"Seri ULV akan menjadi tren di masa mendatang," kata Direktur Original Equipment Manufacturing (OEM) Microsoft Indonesia Ari Kunwidodo di sela-sela peluncuran ULV Axioo seri Zetta MMT di Jakarta, Selasa (25/8).

Komputer jinjing sangat tipis ini, lanjut Ari, berada di antara komputer jinjing versi netbook dan notebook. Tetapi kelebihannya pada power atau baterai yang lebih tahan lama dan beratnya yang lebih ringan. Pengguna ULV, kata Ari, merupakan orang dengan mobilitas yang tinggi seperti profesional ataupun mahasiswa.

Dia melihat persaingan komputer jinjing pada varian netbook akan semakin kompetitif karena harga yang ditawarkan dari produser akan semakin kompetitif. Akan tetapi Ari belum bisa memprediksi besarnya pangsa pasar dari komputer jinjing ULV ini.

"Mungkin pada enam bulan mendatang produsen baru bisa melakukan evaluasi apakah pangsa pasar sesuai prediksi mereka," katanya. Sedangkan pangsa pasar untuk netbook sekitar 18-22 persen dari total pengiriman komputer di Indonesia.

Pada kesempatan tersebut Axioo meluncurkan produk notebook ringan dan tipis yaitu Zetta MMT. Manager Komunikasi Pemasaran Axioo, Devi Yosita mengatakan Axioo Zetta MMT mempunyai berat hanya 1,5 kilogram dengan prosesor Intel Centrino Core 2 Duo.

Notebook Axioo ini mempunyai smart battery Li-Polymer yang membuatnya ramping namun hemat energi, dengan standard tiga sell batere yang dapat bekerja selama tiga jam. Komputer jinjing Axioo ini memiliki web camera, wifi dan 3G modem yang menjamin pengguna bisa menjelajah internet.

Zetta MMT menggunakan layar LCD 13,3 inchi TFT dengan resolusi 1366 x 768, dengan memori 1GB, storage 1,8 HDD SATA dan menggunakan sistem operasi Windows Home Vista. Devi mengatakan, dengan peluncuran produk ini, Axioo akan fokus pada komputer jinjing seri ULV meski dia tidak menjelaskan lebih lanjut jumlah produk dan target pasar yang akan dituju dengan produk tersebut.